Langsung ke konten utama

Sekularisasi Dalam Pemikiran Charles Taylor


Sekularisme mulai gempar sejak abad ke 15 SM yang dimana ada upaya pemisahan antara agama dan negara. Sebelumnya agama yang mengontrol negara. Namun, sejak abad ke 15 negara yang mengontrol agama. dengan Munculnya pemikiran humanisme yang berkembang di abad ke 17 dan mengganti semangat ajaran keagamaan bahwa kebenaran atau kebaikan-kebaikan tidak lagi bersumber dari nilai-nilai keagamaan. Manusia berangkat dari kajian kemanusiaannya mampu menciptakan nilai-nilai kebaikan tanpa harus melalui agama. Peran Tuhan dalam hal ini seakan tidak lagi bermakna dan perlu “dihilangkan” dari kehidupan manusia. Pada abad ke-19 beberapa pemikir beranggapan bahwa peran agama secara perlahan akan pudar dalam kehidupan manusia. Hal inilah yang disebut dengan sekularisasi. dalam hal ini, penulis akan menguraikan tentang pemahaman sekularisme milik Charles Taylor yang di dalam bukunya “A secular Age”. tentang pemahamannya perihal sekularisme.

Charles Taylor lahir pada 5 November 1931 di Mentoral, Kanada. ia berasal dari keluarga Katolik Roma dan menamatkan studi B.A-nya dalam bidang sejarah di McGill University pada tahun 1952. Setelah itu, ia ke Oxford University, untuk menempuh studi master dan doktoralnya di bawah asuhan Isaiah Berlin. Karya-karyanya memang lebih banyak berkutat dalam bidang filsafat. Buah pikirannya sudah mencapai belasan termasuk hasil wawancaranya di beragai media. Karyanya A secular Age mendapatkan penghargaan Templeton Prize sebanyak 1,7 juta Dollar, dalam bidang Progress Toward Research or Discoveries about Spiritual Realities. karya lain yang mendapatkan perhatian para sarjana adalah Sources of the Self (1989), The Malaise of Modernity (1991), Varieties of Religi on Today (2002), dan beberapa karya lainnya.

Charles Taylor dalam bukunya The Secular Age menjelaskan bahwa sekularitas dalam praktiknya sangat sulit ditolak. Sekularisasi meluas hingga ke berbagai negeri dengan kecepatan dan cara yang berbeda-beda. Terdapat dua karakteristik dari pengembaran sekularitas dalam kehidupan. Pertama, terdapat pemusatan konsentrasi pada institusi dan praktik umum. Kedua, jatuhnya keyakinan dan praktik agama dalam kehidupan. pengembaraan yang luas tentang sekularisasi dapat dilihat pada 4 kategori yaitu; sekularitas publik, sosiologis, teologis dan filosifis.

1.      Sekularitas Publik

Sekularitas publik atau pemisah antara agama dengan ruang publik dalam hal ini, kita tidak bisa lagi memunculkan agama pada ruang-ruang publik. Agama disembunyikan di wilayah privat. Kenapa demikian? Karena jika agama dimunculkan di ruang publik maka agama hanya dijadikan sebagai alat. Hal ini selaras dengan Marx yang menginginkan manusia terbebas dari agama karena agama (Candu) hanya dijadikan alat penindas untuk kaum-kaum lemah (Proletar) contoh lain misalnya dalam kontestasi politik yang ada di Indonesia, agama seringkali dijadikan sebagai alat untuk kepentingan tertentu.

2.      Sekularitas Sosiologis 

Sekularitas sosiologis dalam hal ini bahwa tekhnologi atau sains hari ini sudah menjawab berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia yang sebelumnya selalu dibenturkan dengan agama atau Tuhan. Misalnya ketika manusia mengalami penyakit, manusia percaya bahwa ini bisa diatasi dengan sains. Bahkan sains hari ini sangat optimis bahwa manusia akan mengalami yang namanya kematian (hal yang pasti) suatu saat nanti sains akan mampu mengatasinya dengan perkembangan tekhnologi. Dengan demikian sains dan tekhnologi akan menggeser peran Tuhan dari yang sentral menjadi sangat sempit.

3.      Sekularitas Teologis

Sekularitas teologis tidak lepas dari kajian Tuhan. Dalam hal ini, kita tidak percaya akan adanya Tuhan. Tuhan itu hanyalah bentuk-bentukan manusia yang lahir dari imajinasi manusia. Pada saat manusia mengalami ketertindasan, penderitaan atau manusia tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang ia hadapi maka manusia kemudian memunculkan suatu gagasan yang sangat dahsyat yaitu Tuhan sebagai penolong.

4.      Sekularitas Filosofis

Sekularitas ini mempersoalkan tentang hal-hal yang bersifat metafisika. Metafisika sejauh ini dipahami sebagai salah satu ruang yang dimana agama bisa muncul karena metafisika hanya berbicara tentang hal-hal yang immaterial (ghaib, misterius dan hal-hal yang bersifat ketuhanan).  Namun hari ini kembali digugat bahwa hal-hal yang tidak mampu di verifikasi pada akhirnya kita tidak mampu memastikan kebenarannya. Itu sebab hal ini tidak bisa dikatakan sebagai sains atau ilmu pengetahuan.

Inilah beberapa pandangan baru tentang sekularisme menurut Charles Taylor yang dimana sekularisme dianggap memisahkan agama dari ruang-ruang publik atau agama dengan negara. Meskipun Charles Taylor menggap agama itu tidak ada namun berbeda halnya dengan Max Weber bahwa agama selalu ada didalam diri manusia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Harmoni dan Toleransi: Etika Pergaulan Sosial dalam Dilema Agama di Ruang Publik

               Agama memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan masyarakat, dan keberadaannya kerap kali terlihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari (Smith, J. Z. 1991). Dalam konteks masyarakat yang beragam secara agama, kehadiran agama di ruang publik menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Namun, diskusi mengenai peran agama dalam ruang publik juga membawa dilema dan menimbulkan pertanyaan tentang etika pergaulan sosial. Masyarakat kita hidup dalam keberagaman agama yang kaya, terdiri dari penganut agama-agama utama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lain-lain, serta berbagai aliran kepercayaan dan spiritualitas yang berbeda. di mana berbagai tradisi keagamaan dan keyakinan saling bersinggungan dan berinteraksi dalam ruang-ruang publik.              Hubungan antara agama dan ruang publik adalah kompleks dan mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari politik, hukum, pendidikan, hingga budaya dan ekonomi. Agama dapat menjadi sumber inspirasi bagi individu da

Kritik dan Kelemahan Teori Falsifikasi Karl Raimund Popper

     Meskipun konsep teori falsifikasi Karl Popper telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan filsafat ilmu, tetapi juga ada beberapa kritik dan kelemahan yang diajukan terhadap teori tersebut: Kompasiana.com 1. Batas Subjektivitas        Proses falsifikasi memerlukan interpretasi dan penafsiran data empiris oleh para ilmuwan. Hal ini dapat menyebabkan subjektivitas dalam menentukan apakah sebuah teori telah benar-benar dipatahkan atau tidak, karena bisa ada perbedaan pendapat antara para ilmuwan. 2. Revolusi Ilmiah:       Pendekatan Popper mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan bagaimana ilmu pengetahuan berkembang dalam praktiknya. Dalam sejarah, terkadang ilmuwan tidak langsung meninggalkan teori yang telah dibantah oleh bukti, tetapi melakukan revisi atau memperluasnya seiring waktu. 3. Falsifikasi Selective      Tidak semua teori yang diuji akan benar-benar ditolak jika bukti yang menentangnya ditemukan. Beberapa teori mungkin akan mendapatkan pengecualian atau justifikas