Langsung ke konten utama

Pemetaaan Islam di Jepang Melalui Lensa Keiko Sakurai & Michael Penn

Perjalanan sejarah Negara Jepang yang lebih banyak berhubungan dengan Konfusianisme, Budha dan Shinto, keberadaan Islam bukanlah sesuatu yang ada di dalam kehidupan masyarakat Jepang. Selain itu adanya kebijakan mengasingkan diri sekitar 200 (dua ratus puluh) tahun, dari pertengahan abad ke 17 (tujuh belas), sehingga tidak ada kontak antara Jepang dengan Islam. Hal inilah yang menyebabkan masuknya Islam ke Negeri Jepang begitu lambat. Ketika membuka dirinya dari pengasingan yaitu pada masa Meiji, orang-orang Jepang mulai mengetahui Islam dari tetangganya yaitu Cina melalui buku-buku Cina yang di tulis oleh orang Eropa, hal inilah yang menyebabkan orang-orang Jepang belajar ke Cina.


Mengenai kapan agama Islam diperkenalkan ke Jepang tidak diketahui dengan pasti. Namun semenjak zaman modern, melalui hubungan perdagangan antara benua dan negara, penganut-penganut Islam sebagai perorangan mengadakan hubungan yang luas dengan anggota-anggota masyarakat setempat. Pertemuan antara pedagang dan perorangan Jepang itu tidak hanya terjadi di Jepang sendiri, tetapi juga terjadi di negeri asing. Begitu juga bacaan mengenai Islam yang memasuki Jepang sesudah Restorasi Meiji merupakan karya-karya orang Cina atau buku-buku dalam bahasa Cina yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Persentuhan atau pertemuan antara Islam dengan Jepang memiliki beberapa periodesasi. Abu Bakar Morimoto dalam bukunya yang berjudul Islam in Japan: Its Past, Present and Future mengatakan bahwa hubungan Islam dengan Jepang adalah suatu hal yang baru jika dibandingkan dengan beberapa negeri di Asia, Afrika dan Eropa. Untuk menggambarkan hubungan ini secara teratur, maka lebih baik mempelajari sejarah Islam di Jepang kedalam beberapa periode.

Pertama, Periode antara Restorasi Meiji dan akhir Perang Dunia II Dengan lahirnya era baru yaitu pada masa Restorasi Meiji, Jepang dengan cepat mulai menerima dan menyerap berbagai ilmu pengetahuan Barat. Melalui ilmu pengetahuan Barat ini, orang-orang Jepang juga mulai melakukan interaksi secara bebas dengan agama-agama Barat. Tentu saja, agama Kristen adalah suatu agama yang dinilai mempunyai pengaruh yang kuat terhadap orang-orang Jepang. Namun kemudian mereka beralih kepada Islam yaitu ketika adanya buku-buku terjemahan tentang kehidupan Nabi Muhammad saw, maka dengan demikian Islam mendapat tempat dikalangan para intelektual Jepang. Hal ini hanya sebatas ilmu pengetahuan saja dan sejarah kebudayaan.

Hubungan yang lain terjadi pada tahun 1890, yaitu ketika Kerajaan Turki mengirimkan kapal perang angkatan laut ke Jepang dalam misi muhibbah yang menjadi pelopor bagi hubungan antara dua negara dan disisi lain antara orang Islam dengan Orang Jepang. Misi ini membuka jalan untuk hubungan diplomasi antara Jepang dan Turki. Ketika pulang ke Turki awak kapal Turki mendapat musibah di laut. Dengan mengetahui keadaan kapal Turki, orang-orang Jepang menolong mereka dengan mengadakan penyelamatan. Komunitas muslim pertama kali dimulai dengan datangnya beberapa ratus orang Turki, Uzbek, Tadzik, Kirghiz, Kazak dan pengungsi Muslim Tatar dari Asia Tengah dan Rusia yang terjadi pada waktu Revolusi Bolshevik. Para pengungsi Muslim ini mendapat perlindungan di Jepang. Mereka telah mulai kehidupan baru mendapat tempat tinggal dengan tenang di beberapa kota di Jepang seperti Tokyo, Kobe, Nagoya dan sebagainya. Mereka juga mulai melakukan kegiatan keagamaan dengan membentuk komunitas-komunitas di tempat mereka tinggal. Hubungan antara Muslim ini dengan penduduk setempat membawa kepada masuknya beberapa orang Jepang kedalam agama Islam.

Kedua, Setelah Perang Dunia Ke II Di bawah undang-undang baru Jepang, diumumkan secara resmi setelah perang, kebebasan beragama dari orang-orang Jepang telah dijamin. Maka, seluruh pemerintah dan semua kantor pemerintahan serta berbagai institusi telah merdeka dari berbagai macam hak istimewa terhadap agama utama (Shinto). Diwaktu yang sama, semua orang diberi kebebasan untuk percaya, melakukan ibadah atau menyebarkan agamanya sebagai pilihan. Berbagai organisasi keagamaan mulai bermunculan. Pada waktu yang sama juga, setelah peperangan berakhir, tumbuhlah kemerdekaan negara-negara Muslim di Asia dan Afrika, serta diplomasi, ekonomi dan pertukaran kebudayaan mulai tumbuh secara perlahan antara negara-negara Muslim di Asia dan Afrika dengan Jepang. Pertukaran ini juga membawa gelombang pejabat pemerintahan Muslim, para sarjana, orang-orang bisnis, pelajar dan lain sebagainya pergi ke Jepang. Dan sebaliknya, orang-orang Jepang pergi ke negara-negara Muslim.

Selain itu, banyak orang Jepang mulai menunjukkan rasa keingintahuan mereka terhadap bahasa Arab dan ajaran-ajaran Islam. Para pemuda Jepang mulai pergi ke Arab dan negara-negara Muslim untuk belajar bahasa Arab dan Islam, beberapa dari mereka mengajarkan kembali semua yang telah mereka dapat di Jepang setelah mereka kembali. Di Jepang, duta besar dari negara-negara Muslim seperti Arab Saudi, Kuwait, Mesir, Pakistan, Libya, Iran, Malaysia, Indonesia dan sebagainya secara aktif mereka memberi pertolongan dan bantuan terhadap seluruh kegiatan keislaman. Haji Umar Mita adalah salah seorang sarjana Muslim Jepang yang mempublikasikan al Qur'an yang telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang, dalam melakukan penerjemahan tersebut ia disponsori oleh Rabithah al-alam al-islami. Setelah peperangan berakhir, Jepang banyak mendapatkan kerusakan dalam bidang industri. Untuk memperbaiki perindustriannya Jepang membutuhkan minyak yang 99,8% didapatkan dari Negara-negara Muslim di Timur Tengah dan Asia.

Karena membutuhkan minyak maka Jepang harus berinteraksi dengan Negara-negara tersebut. Pada saat Arab Boorrf (1973), media masa Jepang melakukan pemberitaan besar-besaran mengenai Muslim Word secara umum dan Arab World secara khusus, setelah menyadari pentingnya Negara-negara Arab bagi ekonomi Jepang. Melalui pemberitaan tersebut banyak orang Jepang mengenal Islam melalui tampilan ibadah haji di Mekah serta mendengar suara azan dan bacaan al Qur’an. Selain itu, banyak juga usaha yang sungguh-sungguh untuk mempelajari Islam dan banyak yang memeluk Islam.

1.      Islam di Jepang

   Michael Penn dan Keiko Sakurai, menawarkan pengetahuan dasar tentang demografi, asal-usul etnis, praktik keagamaan, dan tantangan Muslim di Jepang. Kedua penulis menawarkan potret yang hampir identik tentang pola imigrasi, komposisi etnis, status kependudukan, dan kesulitan sosial dan bahasa (termasuk masalah sholat di tempat kerja, puasa, larangan alkohol, pakaian konservatif seperti jilbab dan jilbab, dan pencarian konstan untuk halal makanan)  menjadi Muslim di Jepang. Mereka juga setuju bahwa sikap negatif orang Jepang terhadap Islam sebagian besar didorong oleh ketidaktahuan, ketakutan, kurangnya kontak pribadi dengan Muslim, laporan media tentang terorisme Islam (terutama aksi teroris 11 September di mana lebih dari dua lusin orang Jepang tewas), dan persepsi bahwa Islam adalah agama yang tidak toleran, keras, keras, dan “ketaatan tunggal”.

Penn mengutip survei siswa sekolah menengah di mana mayoritas besar merasa bahwa Islam itu “agresif,” “tidak toleran,” “tidak memiliki kebebasan,” dan “melibatkan doktrin yang kaku.” Kedua penulis setuju bahwa Islam adalah agama "asing" bagi kebanyakan orang Jepang dan bahwa sifat picik masyarakat Jepang membuat sangat sulit bagi Islam untuk membuat kemajuan yang signifikan di Jepang.

Kedua penulis tidak memandang Muslim di Jepang sebagai ancaman terorisme baik bagi negara itu atau ke Amerika Serikat dan keduanya melihat kemungkinan kecil radikalisasi di kalangan Muslim Jepang. Mereka juga setuju bahwa orang-orang Muslim yang sudah lama tinggal di Jepang dan yang telah menjalin hubungan keluarga di negara itu mulai berintegrasi ke dalam masyarakat Jepang dengan mengadopsi kebiasaan lokal dan belajar bahasa Jepang. Ketika ingatan tentang 11 September mulai memudar, sikap negatif orang Jepang terhadap Islam harus mulai menghilang. Muslim dengan demikian akan mulai lebih diterima di Jepang, terutama jika iman mereka dipraktikkan secara pribadi.

Banyak agama lama dan baru seperti Shinto, Budha, Tenrikyo, dan Kristen mendefinisikan struktur sosial masyarakat Jepang, dan keyakinan agama Jepang umumnya terkait dengan sinkretisme. Meskipun menghadapi tantangan sosial dan budaya tertentu, Muslim yang di jepang, di sisi lain akrab dengan bahasa Jepang, adat istiadat, dan warisan budaya dan karenanya menemukan hidup sebagai Muslim di Jepang jauh lebih mudah daripada imigran atau Muslim asing. Islam Sufi bisa lebih dapat diterima oleh budaya Jepang karena mendorong umat Islam untuk toleran terhadap agama lain dan untuk menghindari politik di bidang terorisme.

2.      Muslim di Jepang Kontemporer (Keiko Sakurai)

Populasi Muslim non-Jepang yang tinggal di Jepang pada tahun 2004 berkisar dari enam puluh hingga tujuh puluh ribu orang, yang mayoritas adalah laki-laki. Satu perhitungan dimulai dengan jumlah total penduduk asing terdaftar dari Organisasi Konferensi Islam (OKI) negara-negara anggota (67.746), mengurangi orang asing dengan visa pengunjung sementara (11.525), dan menambahkan jumlah overstayers dari Indonesia (7.246 pada tahun 2004) untuk tiba di populasi Muslim asing 63.467,2 Metode ini Perhitungan tidak sempurna karena keduanya mengabaikan fakta bahwa beberapa negara anggota OKI (seperti Malaysia dan Lebanon) memiliki populasi non-Muslim yang besar, dan gagal memasukkan Muslim dari negara-negara non-anggota seperti India dan Sri Lanka. Pendaftaran mahasiswa Muslim asing di perguruan tinggi dan universitas Jepang meningkat pada 1990-an, dengan beberapa siswa mencari pekerjaan di Jepang dan tinggal di negara itu setelah lulus. Meskipun sebagian besar datang ke negara berbagai tujuan bersama, latar belakang sosial imigran dan metode masuk ini bervariasi seperti Indonesia, Pakistan, Banglades dan Iran. Adapun penduduk tetap yang tercatat melalui pernikahan Selama periode yang sama, populasi orang Iran di Jepang meningkat dan Bangladesh serta orang Indonesia meningkat di mana 12 Proporsi tinggi perkawinan Pakistan dengan warga negara Jepang membantu menjelaskan keterlibatan Pakistan yang lebih besar dalam kegiatan keagamaan di Jepang. Kelompok ini terdiri dari mayoritas wanita Muslim di Jepang.

Perkembangan Islam di Jepang dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara pernikahan dan dakwah. Dalam hal perkawinan, wanita tertarik kepada Islam karena mereka menginginkan kebebasan dan Islam memberikan mereka (wanita) kemerdekaan sebab mereka tidak akan menjadi budak lelaki manapun. Islam juga melawan agresi moral yang menyerang wanita. Kesucian dan kehormatan wanita dilindungi. Islam melarang hubungan haram. Semua ini menarik perhatian para wanita. Sedangkan dalam hal dakwah, para pelajar dan pekerja di berbagai bidang membentuk suatu komunitas ataupun berbagai organisasi Dengan komunitas atau organisasi tersebut mereka berusaha memperbaiki pemahaman ajaran Islam dan mengukuhkan persaudaraan antara orang-orang Islam. Selain membentuk komunitas atau organisasi mereka juga mendirikan berbagai masjid dan mushala untuk melakukan ibadah dan berdakwah. Perkembang Islam di Jepang begitu lamban, hal ini dikarenakan masyarakat Jepang sangat terikat dengan kebiasaan dan adat istiadatnya serta kecenderungan pembangunan negara Jepang yang materialistik.

Masjid di Jepang berperan sebagai Ruang Serba Guna karena jumlah penduduk Muslim jangka panjang di Jepang telah tumbuh, Muslim dengan latar belakang bahasa yang berbeda semakin berkomunikasi dalam bahasa Jepang. Dengan demikian, orang-orang di Jepang menggunakan masjid tidak hanya untuk shalat berjamaah dan pertemuan keagamaan tetapi juga untuk pernikahan, pemakaman, studi agama, dan pertemuan sosial atau bisnis. Beberapa masjid memesan lantai atau ruang terpisah yang dipartisi untuk jamaah perempuan. Dan kepemimpinannya Setiap masjid memiliki imam untuk memimpin shalat berjamaah dan kegiatan keagamaan lainnya.

Dalam Generasi Baru Masjid dan Pembangunan Komunitas, terdapat tiga masjid terletak di jalur kereta api Tobu-Isesaki, di sepanjang yang banyak pabrik kecil dan bisnis di mana imigran Muslim telah bekerja pada waktu itu. Di wilayah Kanto masjid terletak di Hyuga, Gyotoku, dan Shirai (Prefektur Chiba); Toda, Yashio, dan Tokorozawa (Prefektur Saitama); Ebina dan Yokohama (Prefektur Kanagawa); Tatebayashi (Prefektur Gunma); dan Koyama dan Ashikaga (Prefektur Tochigi); Serta di Asakusa, Otsuka, Ohanajaya, Hachioji, dan tempat lain di Tokyo. Masjid-masjid ini diciptakan melalui inisiatif imigran akar rumput; Masjid-masjid lain telah dipulihkan atau dibuka dengan bantuan dari luar. Meskipun orang Indonesia merupakan kelompok Muslim terbesar di Jepang, pakistan adalah kelompok yang paling aktif berkaitan dengan pembukaan dan operasi masjid di Jepang dan mengabadikan kegiatan keagamaan di antara komunitas Muslim. Banyak orang Indonesia yang tinggal di Tokyo lebih suka menggunakan Barai Indonesia, sebuah sekolah yang melekat pada kedutaan Besar Indonesia di Tokyo, untuk berdoa. Sampai saat ini pemerintah Jepang telah secara resmi mengakui sebagai perusahaan agama hanya beberapa masjid (seperti Masjid Kobe, Tokyo, dan Nagoya) dan asosiasi Islam (seperti Asosiasi Muslim Jepang, Islamic Center-Jepang, dan Japan Islamic Trust).

3.      Wajah Publik dan Ruang Pribadi: Islam dalam Konteks Jepang (Michael Penn)

Banyak tantangan yang dihadapi oleh umat Islam di Jepang adalah konsekuensi dari perbedaan antara pendekatan Jepang dan Muslim terhadap agama. Selain tantangan di dalam pendidikan, Tantangan Sehari-hari yang dihadapi Muslim di Jepang seperti ketika di rumah, tentu saja, umat Islam dapat menyiapkan makanan mereka sendiri dan meyakinkan diri mereka sendiri bahwa semua hidangan halal; Makan di luar, bagaimanapun, adalah tantangan bagi Muslim yang taat di Jepang karena orang Jepang biasa memiliki sedikit kesadaran akan praktik diet Muslim. Wanita Muslim yang tidak cocok dengan kategori khas siswa yang sudah menikah, buruh, atau ibu rumah tangga. Tidak hanya itu, menjadi seorang Muslim di Jepang juga memiliki kelebihan dan kekurangannya, beberapa Muslim di Jepang berperilaku secara lahiriah seperti yang dilakukan orang Jepang lainnya tetapi menjaga iman mereka untuk diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Kefasihan penuh dalam bahasa lokal dan pemahaman asli tentang perilaku Jepang memang memberi Muslim Jepang keuntungan yang berbeda atas Muslim asing di Jepang.

Kejadian pada 11 September dan Perang Melawan Terorisme memberi dampak, di mana dalam pemerintah Jepang, Badan Kepolisian Nasional (NPA) juga telah menyebarkan kisah-kisah menakutkan tentang ancaman domestik terorisme Islam. Muslim lain yang diwawancarai berbicara tentang Asosiasi Mahasiswa Muslim universitas, yang telah membeli tanah untuk membangun sebuah masjid, diminta polisi untuk bekerja dengan masyarakat setempat untuk menghindari gesekan. Asosiasi Muslim memperluas undangan kepada komunitas Jepang setempat yang menawarkan kesempatan bagi perwakilan untuk mengamati doa dan belajar tentang karakter dasar Islam. Departemen kepolisian setempat di seluruh Jepang, tampaknya menganggap serius dugaan ancaman terorisme Islam domestik, terus mengawasi komunitas Muslim asing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Harmoni dan Toleransi: Etika Pergaulan Sosial dalam Dilema Agama di Ruang Publik

               Agama memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan masyarakat, dan keberadaannya kerap kali terlihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari (Smith, J. Z. 1991). Dalam konteks masyarakat yang beragam secara agama, kehadiran agama di ruang publik menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Namun, diskusi mengenai peran agama dalam ruang publik juga membawa dilema dan menimbulkan pertanyaan tentang etika pergaulan sosial. Masyarakat kita hidup dalam keberagaman agama yang kaya, terdiri dari penganut agama-agama utama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lain-lain, serta berbagai aliran kepercayaan dan spiritualitas yang berbeda. di mana berbagai tradisi keagamaan dan keyakinan saling bersinggungan dan berinteraksi dalam ruang-ruang publik.              Hubungan antara agama dan ruang publik adalah kompleks dan mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari politik, hukum, pendidikan, hingga budaya dan ekonomi. Agama dapat menjadi sumber inspirasi bagi individu da

Kritik dan Kelemahan Teori Falsifikasi Karl Raimund Popper

     Meskipun konsep teori falsifikasi Karl Popper telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan filsafat ilmu, tetapi juga ada beberapa kritik dan kelemahan yang diajukan terhadap teori tersebut: Kompasiana.com 1. Batas Subjektivitas        Proses falsifikasi memerlukan interpretasi dan penafsiran data empiris oleh para ilmuwan. Hal ini dapat menyebabkan subjektivitas dalam menentukan apakah sebuah teori telah benar-benar dipatahkan atau tidak, karena bisa ada perbedaan pendapat antara para ilmuwan. 2. Revolusi Ilmiah:       Pendekatan Popper mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan bagaimana ilmu pengetahuan berkembang dalam praktiknya. Dalam sejarah, terkadang ilmuwan tidak langsung meninggalkan teori yang telah dibantah oleh bukti, tetapi melakukan revisi atau memperluasnya seiring waktu. 3. Falsifikasi Selective      Tidak semua teori yang diuji akan benar-benar ditolak jika bukti yang menentangnya ditemukan. Beberapa teori mungkin akan mendapatkan pengecualian atau justifikas

Memahami Nama Tokoh Teori Sosiologi: Dari Klasik melalui Modern hingga Postmodern

     Perkembangan teori sosiologi dari klasik melalui modern hingga postmodern menggambarkan evolusi pemikiran yang mendalam dalam memahami masyarakat dan interaksi sosial. Dari pandangan klasik yang berfokus pada struktur dan fungsi masyarakat, hingga teori-teori modern yang menyoroti konflik dan ketimpangan sosial, dan akhirnya menuju perspektif postmodern yang menantang batasan dan narasi dominan, perjalanan ini memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas dunia sosial yang terus berubah. Berikut adalah pemetaan tokoh teori sosiologi klasik, modern, dan postmodern; www.sociolovers-ui.blobspot.com Tokoh Teori Sosiologi Klasik; 1. Karl Marx (1818-1883): Teori konflik, materialisme historis, analisis struktur kelas, dan perubahan sosial. 2. Émile Durkheim (1858-1917): Fungsionalisme, solidaritas sosial, fakta sosial, dan integrasi sosial. 3. Max Weber (1864-1920): Teori tindakan sosial, pemahaman (verstehen), rasionalitas, dan hubungan agama dan kapitalisme. 4. Auguste Comte (1798-18